Selasa, 25 Disember 2012

Politik dan Agama


Politik dan Agama bisakah dipisah?

Oleh: Muhammad Ramdhan Adhi

 

Abstraksi

Perkembangan masyarakat sekular modern di Barat secara bertahap telah menggiring kepada pemisahan agama dari negara.  Agama hanya menjadi urusan individu.  Oleh karena itu, agama tidak memiliki peran dalam urusan negara atau masyarakat pada umumnya. Ini adalah persepsi akan agama yang dimiliki oleh masyarakat-masyarakat sekular yang ada di dunia dewasa ini.  Di masyarakat sekular manapun, peran agama subordinatif terhadap negara.  Sekularisme mencapai puncaknya di Barat dan itu memang wajar mengingat di sanalah tempat kelahirannya.  Melalui kolonialisme dan propaganda militer/ekonomi, Barat berusaha memaksa bangsa-bangsa lain untuk mengadopsi pandangan sekularnya.
Untuk memahami mengapa pandangan itu diadopsi oleh Barat, pertama-tama kita perlu menganalisa peristiwa-peristiwa historis, karena melalui rangkaian peristiwa historislah, situasi masa kini dapat eksis.

 

Kemunculan Masyarakat Sekular

Pada Abad Pertengahan (The Middle Ages) Eropa diatur oleh sistem feodal yang zhalim, yang diusung oleh Kerajaan, Para Bangsawan, dan Gereja.  Filosofi dasarnya adalah bahwa posisi manusia di dalam kehidupannya telah ditetapkan oleh Tuhan, sehingga seseorang menjadi pandai besi karena memang ia dilahirkan sebagai seorang pandai besi, dan seseorang menjadi raja karena ia memang dilahirkan sebagai seorang raja; itulah takdir manusia yang telah ditetapkan.  Pandangan ini dimaksudkan untuk mempertahankan keadaan status quo, dan penindasan terhadap masyarakat kelas rendah tetap berlangsung di mana-mana.  Situasi itu dengan sendirinya mengundang konflik antara rakyat dan negara, dan perjuangan ini terus berlangsung mencapai puncaknya selama Abad Pertengahan.  Sehingga istilah Abad Pertengahan seringkali identik dengan Abad Kegelapan (The Dark Ages), karena bagi bangsa Eropa, itulah masa yang paling kelam dalam sejarah mereka.
Gereja berupaya menjustifikasi keadaan feodal tersebut, dan dengan merajalelanya korupsi, Gereja menjadi lembaga yang sangat kuat dalam hal kekayaan dan pengaruh.  Semua orang tahu bagaimana kekayaan Gereja Katolik terus bertambah melalui “donasi”, dimana salah satu programnya adalah menukar tempat di surga (yaitu pengampunan akan dosa) dengan emas.  Setiap dosa yang ingin diampuni ada harganya.  Misalnya menggugurkan kandungan (3 shilling dan 6 pence), mencuri (9 shilling), memperkosa seorang gadis (9 shilling), berzina (7 shilling dan 6 pence), dan membunuh (7 shilling dan 6 pence)[2].  Korupsi semacam ini menimbulkan ketidakpuasan dan akhirnya muncul pemberontakan yang dipelopori Martin Luther dan Johanes Calvin.   Pemberontakan inilah yang memicu reformasi, yang kemudian melahirkan Gereja Protestan. Kondisi ini melemahkan institusi Katolik.
Pada saat yang sama di Eropa sedang dimulai periode sains dan penemuan-penemuan.  Hal ini seringkali menimbulkan konfrontasi dengan ajaran Gereja. Misalnya ketika Galileo melalui tulisannya mendukung hipotesa Copernicus bahwa bumi berputar mengelilingi matahari dan bukan sebaliknya seperti yang dinyatakan gereja[3].  Begitu pun penemuan benua keempat di bumi, yaitu Australia, menimbulkan friksi dengan ajaran Gereja yang menyebutkan hanya ada tiga benua. Gereja dan Kerajaan terus berusaha memberangus pengetahuan-pengetahuan yang berlawanan dengan Gereja demi mempertahankan pengaruhnya di masyarakat.  Di lain pihak, masyarakat mulai berpaling dari dogma negara, khususnya gereja.  Ini adalah periode Renaissance, saat dimana Eropa mulai membuka cakrawalanya.  Penemuan-penemuan sains menimbulkan Revolusi Industri, dan perimbangan kekuasaan di ajang politik internasional bergeser ke Eropa.  Revolusi Industri membuat Eropa menguasai industri berat, yang menghasilkan alat-alat perang pemicu dimulainya periode penaklukan dan kolonisasi.
Para cendekiawan juga mulai melakukan perlawanan terhadap Gereja. Niccolo Machiavelli menelurkan gagasan yang membuat negara-negara Eropa berpaling dari konsep negara Kristen ke konsep negara bangsa (nation state)[4].  Akibat penindasan yang dilakukan penguasa, seruan kebebasan semakin kuat, agama mulai dianggap sebagai takhayul dan kemunduran.  Para pemikir dan politisi terkemuka seperti John Locke, Thomas Hubb, Montesquieu dan Rousseau menyerukan agar individu diberikan kebebasan dan tidak dikekang.  Jean Jacques Rousseau menyatakan “Man was born free and he is everywhere in chains[5].  Ungkapan ini berarti bahwa manusia memiliki kehendak untuk menentukan nasibnya sendiri dan tidak ditentukan oleh Tuhan, sehingga manusia bebas dan pada hakikatnya manusia itu baik.  Negaralah yang telah memperbudak manusia, sehingga manusia terkekang dan negara eksis tanpa persetujuan manusia.  Di sini mulai terlihat bahwa Eropa berpaling dari sistem feodal dan beralih menuju sebuah masyarakat yang lebih bebas dimana setiap warga negara dapat menentukan nasibnya sendiri.  Rousseau-lah yang memberi inspirasi lahirnya Revolusi Perancis yang menyeret runtuhnya kekuatan opresif Kerajaan dan Gereja.  Sistem parlemen disusun, Kerajaan hanya dijadikan simbol, dan Gereja kehilangan kekuasaannya.  Sebuah masyarakat sekular pun terbentuk.  Proses yang sama terjadi di belahan Eropa lain dan kerajaan-kerajaan hanya dijadikan simbol serta peran Gereja dibatasi hanya mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan ibadah ritual.  Tongkat kekuasaan berpindah ke tangan Parlemen yang sangat disokong oleh perusahaan-perusahaan besar.  Gereja kemudian hampir tidak memiliki hubungan dengan negara dan perannya hanya terkonsentrasi pada masalah ibadah dan moral individu.
Sejak itu agama memiliki makna baru dengan adanya eliminasi pengaruh agama terhadap negara dan masyarakat pada umumnya.  Rakyat mulai mengadopsi nilai-nilai dan mendapat inspirasi dari para cendekiawan, politisi, pemikir, dan penulis. Namun demikian memang wajar jika rakyat menjauh dari Gereja disebabkan oleh kolaborasi Gereja dengan Kerajaan dalam menjunjung sistem feodal di Eropa.  Menjauhnya rakyat dari Gereja dan sistem Feodal itu lebih jauh lagi didorong oleh dua faktor lain.
Pertama, seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa penemuan-penemuan ilmiah mendorong timbulnya konflik langsung dengan ajaran-ajaran Gereja, hal ini menimbulkan keraguan terhadap otentisitas Injil.  Hasilnya, rakyat kehilangan kepercayaan terhadap Gereja.  Kedua, suatu bentuk baru pemerintahan sekular, bersama dengan penemuan-penemuan ilmiah dan Revolusi Industri, melahirkan Eropa yang lebih kuat dan kaya.  Konsekuensinya hal ini memulai periode kolonialisme yang kejam yaitu Eropa semakin kaya dan kuat dari hasil menjarah kekayaan dan kekuatan bangsa-bangsa lain.  Masyarakat sekular pun semakin berdiri kokoh.
Semua itu menunjukkan bahwa rakyat Eropa secara umum mengambil sikap bermusuhan terhadap Kristen dan agama.  Gereja tidak saja dianggap mempertahankan sistem feodal yang opresif tapi juga menghambat kemajuan Eropa dengan dogma-dogma agamanya, yang terbukti bahwa dogma-dogma itu hanya berdasarkan rekayasa dan takhayul.
Inilah yang membentuk pikiran orang-orang Eropa modern.  Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah masuk akal jika kita menilai semua agama hanya berdasarkan pengalaman ajaran Kristen?  Sayangnya, inilah yang memang Barat inginkan.  Tidakkah mereka seharusnya mencari alternatif yang lebih baik daripada sekadar mengacuhkan Kristen dan mengambil solusi kompromis?  Kompromi, karena eksistensi Sang Pencipta tidak ditolak; mereka hanya mengenyampingkan institusi agama dari urusan kehidupan.  Gereja, mewakili agama, diberi peran terbatas di masyarakat dan pemerintahan diberi peran yang terpisah dari Gereja. Urusan politik terpisah dari urusan Gereja, dan politik menjadi terpisah dari agama.

 

Apa Itu Agama?

Mendiskusikan definisi yang paling tepat tentang agama bukanlah masalah mendasar, tapi yang penting ialah memahami bagaimana masyarakat memahami agama.  Seperti yang telah disebutkan, perkembangan masyarakat sekular di Eropa berujung pada hilangnya kekuasaan dan pengaruh otoritas agama. Hal ini juga memungkinkan Eropa mendapat kekuasaan atas dunia melalui kolonialisme, yang pada gilirannya menambah kekayaan dan kesejahteraan di atas penderitaan bangsa-bangsa lain.  Menyebut kata “agama” kepada orang sekular modern akan menimbulkan beberapa gagasan berikut.
a.       Agama adalah murni masalah pribadi antara manusia dengan Sang Pencipta.  Ini berarti bahwa agama tidak memiliki peran di masyarakat, dan harus dipisahkan dari urusan politik.  Gagasan ini timbul dari marjinalisasi Gereja secara bertahap.
b.       Agama sangat berdasarkan takhayul, dugaan dan ketakutan, karena manusia tidak mampu menjelaskan kejadian-kejadian alam dan keberadaannya di alam semesta.  Hanya dengan sains dan intelektualitaslah manusia dapat maju.
c.        Agama tidak memberi ruang bagi perbedaan pendapat dan ini berarti penindasan terhadap kebebasan berbicara dan berpikir.  Khususnya hal ini timbul dari perilaku Gereja Katolik selama proses Inquisisi Spanyol pada akhir abad 15 M, pembunuhan masal kaum Protestan dan segala sesuatu yang bertentangan dengan ajarannya, dan pembantaian-pembantaian berdarah lainnya[6].  Hanya kehendak para pendetalah yang diikuti tanpa memperhatikan pendapat rakyat.  Sistem seperti itu tidak melayani rakyat banyak melainkan hanya melayani kaum elit yang memiliki otoritas.
Itulah gagasan-gagasan yang muncul dalam pikiran masyarakat sekular Barat dan kaum elit sekular di negeri-negeri muslim.

 

Pandangan Islam Terhadap Agama dan Masyarakat

Pemahaman di atas sama sekali tidak sesuai dengan Islam.  Setiap nabi yang Allah SWT utus dari mulai Adam as hingga Muhammad saw, diutus bukan hanya untuk memperbaiki individu tapi juga memperbaiki masyarakat secara luas.  Mereka diutus dengan risalah untuk beriman kepada satu Pencipta dan membawa hukum dan peraturan untuk mengatur masyarakat dan individu.  Seiring dengan pertumbuhan masyarakat yang semakin kompleks, Allah SWT memberikan hukum-hukum baru kepada nabi-nabi berikutnya.  Tidak pernah ada satu nabi pun yang diajarkan bahwa agama hanyalah urusan keyakinan pribadi dan bahwa perbuatan-perbuatan manusia itu terpisah dari keyakinannya.
Adanya analisa bahwa agama (Kristen) hanya terdiri dari rekayasa dan takhayul, memang benar karena naskah kitab suci agama tersebut yang orisinal telah hilang atau dirusak/diubah oleh manusia.  Al-Qur’an memberi kesaksian tentang fakta ini dan lebih dari itu, Al-Qur’an tidak pernah kontradiktif dengan hasil-hasil penemuan ilmiah.  Justru Al-Qur’an menantang manusia untuk menemukan kontradiksi-kontradiksi di dalamnya, jika ada.
“Apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an?  Jika Al-Qur’an memang datang dari selain Allah, tentulah mereka akan menemui banyak pertentangan di dalamnya” (TQS. an-Nisaa’ 82).
Tidak ada satu masyarakatpun yang secara absolut membolehkan kebebasan mengekspresikan perbedaan pandangan.  Karena itu, jika ada masyarakat yang mengklaim bahwa mereka membolehkan kebebasan berbicara, maka hal itu adalah suatu kebohongan nyata dan hipokrit, karena agar masyarakat dapat menjalankan fungsinya tentu harus memiliki batasan-batasan dan larangan, sebab jika tidak maka akan menimbulkan kekacauan (chaos).  Orang-orang di masyarakat tidaklah homogen dan beda orang akan memiliki kemampuan berbeda, kecenderungan terhadap masyarakat yang bebas akan menimbulkan penindasan oleh yang kuat terhadap yang lemah.  Untuk mencegahnya, masyarakat membutuhkan peraturan.  Jadi, gagasan suatu masyarakat yang bebas adalah mitos belaka dan tidak pernah ada realitasnya dan tidak akan pernah ada sampai kapan pun.  Gagasan masyarakat yang bebas akan bertentangan dengan sifat kemanusiaan, karena suatu masyarakat yang bebas akan seperti kehidupan hutan, yang kuat menindas yang lemah, tanpa adanya rasa belas kasih, sehingga lebih sesuai bagi binatang dan tidak sesuai bagi manusia.  Masyarakat-masyarakat demokratis di Barat, meskipun mengklaim memiliki kebebasan berbicara atau jenis-jenis kebebasan lainnya, tidaklah berbeda dengan tipe-tipe masyarakat lainnya, baik itu masyarakat yang diktator/otoriter, monarki ataupun teokrasi, karena semua tipe masyarakat itu memiliki peraturan, dan kebebasan itu ada selama orang memperhatikan aturan yang ditetapkan.  Jadi, bisa dikatakan bahwa era setelah Abad Pertengahan memang memberikan ruang yang lebih besar bagi kebebasan berbeda pendapat, tapi itu tidaklah mutlak dan memang tidak akan pernah mutlak.  Yang benar adalah bahwa setiap masyarakat membolehkan perbedaan pendapat itu ada selama pendapat-pendapat itu tidak mengancam tatanan struktur kekuasaan yang ada.  Sehingga alasan bagi perbedaan pendapat yang lebih besar dalam masalah nilai-nilai agama setelah periode Renaissance adalah karena struktur kekuasaan yang ada ketika itu tidak didasarkan pada agama.  Seperti halnya dalam aturan Islam, terdapat kebebasan berpendapat dalam batas-batas syari’at, seperti terlihat pada perkembangan sejarah Mahzab-mahzab fiqh, Ushl Fiqh, sains, sejarah, dan lain-lain. Perdebatan dan diskusi hebat pernah terjadi di Baghdad, Kufa, Madinah, Grenada, Qirawain, Fez dan Samarqand.

 

Pengertian Politik

Setelah kita mendapat suatu pemahaman tentang makna agama dan masyarakat, mari kita analisa makna politik.  Politik secara umum dipahami hanya sekadar perjuangan mendapat kekuasaan dan pemerintahan, karena itu politik diasosiasikan dengan mengatur atau memerintah suatu bangsa.  Lantas definisi partai politik adalah partai yang berjuang mendapat kekuasaan, sehingga perebutan kekuasaan menjadi trademark dari permainan politik.  Sebagian besar politisi modern sepertinya terinspirasi oleh Machiavelli, yang menyatakan bahwa seorang politisi harus licik dan berjuang untuk kekuasaan.  Fakta peta politik saat ini sangat sesuai dengan pernyataan tersebut.  Ini pandangan yang dangkal dan keliru.
Esensi politik sebenarnya berkaitan dengan urusan masyarakat dan bagaimana pengaturannya, baik masyarakat kuno seperti Babilonia, Asiria, Funisia, hingga masyarakat modern di milenium tiga ini.  Fungsi pemerintah manapun adalah memelihara urusan-urusan masyarakat tersebut.  Bukan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan, walaupun hal ini tampaknya telah menjadi motif utama dari para politisi masa kini.  Dalam bahasa Arab, kata politik sepadan dengan siyasah, berasal dari kata sasa, yasuusu, siyasatan yang berarti mengurus kepentingan seseorang. Berdasarkan kajian bahasa dan analisa terhadap hadits-hadits tentang pengurusan masyarakat diambil suatu definisi syar’iy dari politik (siyasah), yaitu mengatur urusan umat, baik di dalam maupun di luar negeri.
Gagasan pemisahan agama dari politik adalah ide yang dangkal.  Pemisahan itu hanyalah produk dari kekelaman sejarah Eropa, bukan hasil pemikiran intelek.  Islam telah memberikan panduan pengaturan masyarakat.  Seluruh Nabi yang diutus oleh Allah SWT menjadi pemimpin dalam melakukan perubahan masyarakat.  Nabi Muhammad saw mendirikan suatu negara di Madinah setelah hijrah.  Di sana beliau saw mengatur urusan masyarakat, membuat perjanjian-perjanjian, menerapkan syari’at Islam, menyatakan keadaan perang dan damai, serta mengirim/menerima utusan ke/dari negara-negara lain.

 

Sering kita dengar ungkapan “Agama adalah urusan pribadi, jangan dibawa-bawa ke dalam dunia politik”.  Ungkapan ini lahir dari dogma sekular, yaitu bahwa agama adalah urusan pribadi saja.  Inilah definisi yang digunakan oleh para politisi, cendekiawan, penulis dan media massa sekular untuk menguasai opini publik di masyarakat.  Pemahaman ini dianggap sakral bagi pemikiran yang “progresif” dan tidak dapat digugat.
Definisi di atas jelas keliru karena sifat alami agama adalah untuk memperbaiki dan mengatur masyarakat secara keseluruhan.  Untuk memperbaiki masyarakat dibutuhkan otoritas politik, sehingga politik selalu integral dalam agama.  Ibaratnya, politik adalah anak dari suatu keluarga dan keluarga itu adalah agama.
Tuntutan bahwa agama harus tetap terpisah dari politik agar tidak ada orang yang dapat memaksakan keyakinannya kepada orang lain adalah hal yang juga keliru.   Pandangan yang menyatakan bahwa agama harus dipisahkan dari politik itu sendiri adalah suatu sudut pandang khas, suatu “agama”, yang dipaksakan kepada orang lain.  Perbedaannya hanya terletak pada fakta bahwa “agama baru” ini tidak mengandung unsur keyakinan pada Pencipta dan digunakan istilah yang berbeda, yaitu sekularisme.  Seperti halnya mengatakan bahwa tidak boleh ada hukum di masyarakat; padahal ungkapan itu sendiri membentuk suatu hukum.
Argumen lain yang diutarakan oleh masyarakat sekular adalah bahwa hukum-hukum agama sudah ketinggalan zaman dan tidak dapat diterapkan dalam masyarakat modern yang progresif.  Ini digunakan untuk menjustifikasi pemisahan agama dari politik.  Asumsi dasar dari pernyataan ini adalah bahwa sesuatu yang lama menjadi ketinggalan zaman dan sesuatu yang baru itu adalah progresif dan harus diterima tanpa keraguan.  Kriteria yang digunakan adalah waktu.  Tetapi ini bukan argumen yang intelek.  Kalau kita amati, udara yang kita hirup sama tuanya dengan usia planet yang kita diami, dan udara berfungsi vital bagi kelangsungan hidup kita; pun penyakit-penyakit baru seperti AIDS sukar diterima oleh masyarakat.  Jadi, hanya karena sesuatu itu sudah tua tidaklah berarti usang atau kuno; sesuatu yang baru tidak berarti baik dan dapat diterima.  Begitu pula hukum-hukum tidak menjadi usang atau kuno hanya karena hukum-hukum itu adalah “produk lama”, karena pada esensinya manusia adalah sama.  Sama-sama makhluk yang lemah, lengkap dengan segala keterbatasannya.  Kondisi ini membuat manusia selalu membutuhkan sesuatu yang lebih tinggi dari dirinya.  Manusia membutuhkan aturan sebagai panduan dalam menjalani hidupnya.  Dan buku panduan yang baik dan benar hanya datang dari Pencipta manusia dan alam semesta tempat manusia itu hidup.
Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw untuk mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Pencipta, dengan dirinya sendiri, serta dengan sesama manusia lainnya. Al-Qur’an adalah Kalamullah yang menjelaskan segala sesuatu yang
Dalam al-Qur’an terdapat aturan-aturan diantaranya mengenai pernikahan, perceraian, waris, jihad, zakat, dll. yang tidak akan pernah bisa diimplementasikan dalam masyarakat tanpa adanya otoritas politik.  Bagaimana hukum potong tangan bagi pencuri, rajam bagi pezina, deklarasi jihad, mengumpulkan zakat dan kharaj bisa berjalan tanpa adanya otoritas politik?  Rasulullah saw sendiri melaksanakan hukum-hukum di atas 1400 tahun yang lalu, menunjukkan bahwa politik adalah bagian dari Islam.  Diantara ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan politik adalah firman-firman Allah SWT yang artinya:
“Siapa saja yang tidak berhukum menurut apa yang telah Allah turunkan, maka mereka itu termasuk orang-orang kafir” (TQS. al-Maaidah 44).
“Siapa saja yang tidak berhukum menurut apa yang telah Allah turunkan, maka mereka itu termasuk orang-orang zhalim” (TQS. al-Maaidah 45).
“Siapa saja yang tidak berhukum menurut apa yang telah Allah turunkan, maka mereka itu termasuk orang-orang fasiq” (TQS. al-Maaidah 47).
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidaklah beriman hingga mereka menjadikanmu (Muhammad) sebagai hakim atas perkara yang mereka perselisihkan” (TQS. an-Nisaa 65).
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah, dan ta’atilah Rasul (-Nya), dan ulil amri diantaramu.  Kemudian jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul-Nya (as-sunnah)” (TQS. an-Nisaa 59).
Mayoritas ulama Hanafi, Syafi’iy, Hambali sepakat bahwa ayat di atas, “ta’atilah ulil amri” merujuk kepada Khalifah.  Setelah wafatnya Rasulullah saw, para shahabat berkumpul dan memilih salah seorang dari mereka untuk menjadi Khalifah, sebelum menguburkan jenazah Nabi Muhammad saw.  Mereka adalah para shahabat terdekat Nabi saw dan mereka bersepakat tentang wajibnya memilih seorang Khalifah.  Oleh karena itu, sejak permulaan Islam, otoritas politik telah dikenal dan diimplementasikan.
Juga banyak hadis-hadis yang berkaitan dengan Khilafah.
Imam Muslim meriwayatkan dari Nafi’ yang berkata yang artinya: Abdullah ibn Umar berkata kepadaku: “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: ‘Siapa saja yang melepaskan tangan dari keta’atan, ia akan bertemu dengan Allah di hari kiamat tanpa memiliki hujjah, dan siapa saja yang mati sedangkan di atas pundaknya tidak ada bai’at, maka ia mati dalam keadaan mati jahiliyyah.”
Dari Abu Hurayrah dari Nabi saw bersabda:“Dahulu, Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para nabi.  Setiap kali seorang nabi meninggal, digantikan oleh nabi yang lain.  Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku.  (tetapi) Nanti akan ada banyak Khalifah.  Para sahabat bertanya: Apakah yang engkau perintahkan kepada kami?  Beliau saw menjawab: Penuhilah bai’at yang pertama dan yang pertama saja.  Berikanlah kepada mereka haknya, karena Allah nanti akan menuntut pertanggungjawaban mereka tentang rakyat yang dibebankan urusannya kepada mereka” (THR. Muslim dari Abu Hazm).
Dari Ibnu Abbas dari Rasulullah saw bersabda: “Siapa saja yang membenci sesuatu dari pemimpinnya, hendaklah ia tetap bersabar.  Sebab, siapa saja yang keluar (memberontak) dari penguasa sejengkal saja kemudian mati dalam keadaan demikian, maka matinya adalah seperti mati jahiliyah.”
Seharusnya keterangan ini cukup bagi masyarakat sekular Barat dan orang-orang terpelajar di antara kaum muslimin untuk menyadari bahwa politik dan Islam tidak akan pernah dapat dipisahkan;  karena politik adalah bagian integral dari Islam.  Tetapi orang-orang kafir selalu berusaha untuk memadamkan cahaya Allah SWT. Dengan segala kebencian yang tampak di wajah dan dadanya, mereka berupaya sekuat tenaga untuk mempromosikan, menjual, bahkan menggratiskan dagangan mereka, yaitu sekularisme, ke tengah-tengah kaum muslimin.

                                                                                  

Upaya Barat Mempromosikan Sekularisme

Barat tidak pernah melewatkan setiap peluang untuk mendarahdagingkan sekularisme kepada setiap muslim.  Dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang melebihi negara-negara lain, Barat memiliki senjata ampuh berupa kekuatan ekonomi dan militer.  Ketergantungan secara ekonomi (khususnya) negara-negara dunia ketiga kepada Barat, membuat Barat selalu berada pada posisi tawar (bargaining position) yang kuat.  Akibatnya, Barat berkesempatan memaksakan setiap keinginannya.  Bila jalur ekonomi terhambat, giliran militer yang turun tangan.  Upaya-upaya Barat dalam mempropagandakan sekularisme diantaranya secara garis besar adalah sebagai berikut.
1.              Menciptakan kondisi-kondisi yang membuat sebanyak mungkin negara memiliki ketergantungan yang akut kepada Barat.  Asumsi dasarnya sederhana saja, yaitu jika Anda ingin saya meluluskan setiap permintaan yang Anda butuhkan, maka Anda terlebih dulu harus mendekati saya dan menuruti setiap apa kata saya.
2.              Ketika kondisi nomor 1 tercapai, maka Barat memiliki kekuatan memaksa.  Yaitu memaksa setiap negara  yang tergantung padanya untuk berperan aktif mengkampanyekan “nilai-nilai luhur” yang dianut Barat.  Para politisi oportunis adalah punggawa Barat di pemerintahan negeri-negeri Islam.  Para cendekiawan sekularis adalah corong Barat di dunia akademik dan wacana publik. (Beberapa) Ulama menjadi juru kampanye sekularisasi dunia santri dan pesantren.
3.              Berikutnya, setiap sudut kehidupan kaum muslimin dipenuhi dengan promosi sekularisme.  Media massa cetak maupun elektronik dalam berbagai bentuknya tidak pernah bosan mendukung upaya sekularisasi; sistem dan kurikulum pendidikan setiap tahunnya melahirkan mayoritas lulusan yang seolah-olah baru pulang cuci otak di pusat negara sekular.
4.              Ada juga gerakan-gerakan Islam yang dibentuk atau didanai oleh pemerintah-pemerintah di dunia Islam (yang dikontrol oleh Barat), mempromosikan ide sekularisme dalam Islam.  Kelompok-kelompok ini cenderung membatasi aktivitas gerakannya pada aspek individu, seperti shalat, puasa, naik haji dan akhlaq.  Mereka diam terhadap ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap umat Islam.  Mereka mendorong umat Islam untuk tetap secara pasif bersabar dan menolerir rezim yang brutal dan barbar yang ada di dunia Islam.  Mereka menjauhi politik dengan menyatakan bahwa politik adalah sarang fitnah dan tidak boleh didiskusikan.  Mereka menganggap seruan ditegakkannya kembali sistem Khilafah adalah utopia, hanya angan-angan. Kelompok-kelompok ini ditawari berbagai posisi dalam pemerintahan, dan mereka menyusun program “Islamisasi” di dalam negeri dan menamai negerinya sebagai suatu negara Islam (yang semu), untuk menjauhkan umat dari gagasan Negara Islam yang sejati.  Negara-negara Islam semu itu sama sekali tidak dapat disamakan dengan Khilafah Islamiyah dari segi apapun; tidak ada Khalifah melainkan Presiden atau Perdana Menteri atau Pemimpin Spiritual.  Mereka menerapkan beberapa bagian dari syari’at Islam dan mereka menerima konsep batas-batas nasionalistik yang dibentuk oleh para kolonialis, padahal kesemuanya itu bertentangan dengan Islam.
5.              Kenyataan ini diperparah oleh fakta bahwa rakyat kecil sebagai bagian terbesar dari umat yang sedang mengalami kemunduran ini berideologi plagiasi.  Menggugu dan meniru apa kata orang yang secara keilmuan dianggap lebih tinggi.  Politisi oportunis dijadikan pemimpin idaman.  Cendekiawan sekularis dijadikan rujukan.  Ulama-ulama yang sudah terbeli keislamannya dijadikan teladan.
6.              Cara lain ialah dengan memberikan dukungan dana kepada pusat-pusat keislaman (Islamic Centre) di negara-negara Eropa dan Amerika. Negeri-negeri seperti Arab Saudi, Kuwait, dan Mesir menyediakan dana dan pemimpin spiritual yang karismatik, lengkap dengan fasilitas penunjangnya.  Tujuannya adalah agar kaum muslimin merasa tercukupi kebutuhannya.  Merasa terakomodasi eksistensi dan aspirasinya, sehingga melalaikan kaum muslimin dari perkara yang nyata-nyata mendesak, yaitu tegaknya syariat Islam dalam format Khilafah Islamiyah.

Penutup
Contoh paling nyata dari integralnya politik dan agama dapat dilihat dari fungsi Negara Islam dalam waktu yang begitu lama, sejak pendiriannya tahun 622 M oleh Rasulullah saw di Madinah hingga peruntuhannya tahun 1924 M oleh Mustafa Kamal yang didukung kolonialis.  Sistem Islamlah yang telah menjamin kedamaian dan ketentraman, baik bagi kaum muslim maupun non-muslim; ketika itu urusan-urusan masyarakat diatur menurut hukum Allah SWT Sang Pencipta, bukan oleh hukum-hukum buatan pikiran manusia dengan segala biasnya, kontradiksinya, dan kepentingannya.



Sumber : directory.ummac.id

Tiada ulasan:

Catat Ulasan