Oleh: Muhammad Ramdhan Adhi
Abstraksi
Perkembangan masyarakat sekular modern di Barat
secara bertahap telah menggiring kepada pemisahan agama dari negara. Agama hanya menjadi urusan individu. Oleh karena itu, agama tidak memiliki peran
dalam urusan negara atau masyarakat pada umumnya. Ini adalah persepsi akan
agama yang dimiliki oleh masyarakat-masyarakat sekular yang ada di dunia dewasa
ini. Di masyarakat sekular manapun, peran
agama subordinatif terhadap negara.
Sekularisme mencapai puncaknya di Barat dan itu memang wajar mengingat
di sanalah tempat kelahirannya. Melalui
kolonialisme dan propaganda militer/ekonomi, Barat berusaha memaksa
bangsa-bangsa lain untuk mengadopsi pandangan sekularnya.
Untuk memahami mengapa pandangan itu diadopsi
oleh Barat, pertama-tama kita perlu menganalisa peristiwa-peristiwa historis,
karena melalui rangkaian peristiwa historislah, situasi masa kini dapat eksis.
Kemunculan Masyarakat Sekular
Pada Abad Pertengahan (The Middle Ages) Eropa diatur oleh sistem feodal yang zhalim, yang
diusung oleh Kerajaan, Para Bangsawan, dan Gereja. Filosofi dasarnya adalah bahwa posisi manusia
di dalam kehidupannya telah ditetapkan oleh Tuhan, sehingga seseorang menjadi
pandai besi karena memang ia dilahirkan sebagai seorang pandai besi, dan
seseorang menjadi raja karena ia memang dilahirkan sebagai seorang raja; itulah
takdir manusia yang telah ditetapkan.
Pandangan ini dimaksudkan untuk mempertahankan keadaan status quo, dan
penindasan terhadap masyarakat kelas rendah tetap berlangsung di
mana-mana. Situasi itu dengan sendirinya
mengundang konflik antara rakyat dan negara, dan perjuangan ini terus
berlangsung mencapai puncaknya selama Abad Pertengahan. Sehingga istilah Abad Pertengahan seringkali
identik dengan Abad Kegelapan (The Dark
Ages), karena bagi bangsa Eropa, itulah masa yang paling kelam dalam
sejarah mereka.
Gereja berupaya menjustifikasi keadaan feodal
tersebut, dan dengan merajalelanya korupsi, Gereja menjadi lembaga yang sangat
kuat dalam hal kekayaan dan pengaruh.
Semua orang tahu bagaimana kekayaan Gereja Katolik terus bertambah
melalui “donasi”, dimana salah satu programnya adalah menukar tempat di surga
(yaitu pengampunan akan dosa) dengan emas.
Setiap dosa yang ingin diampuni ada harganya. Misalnya menggugurkan kandungan (3 shilling
dan 6 pence), mencuri (9 shilling), memperkosa seorang gadis (9 shilling),
berzina (7 shilling dan 6 pence), dan membunuh (7 shilling dan 6 pence)[2]. Korupsi semacam ini menimbulkan ketidakpuasan
dan akhirnya muncul pemberontakan yang dipelopori Martin Luther dan Johanes
Calvin. Pemberontakan inilah yang
memicu reformasi, yang kemudian melahirkan Gereja Protestan. Kondisi ini
melemahkan institusi Katolik.
Pada saat yang sama di Eropa sedang dimulai
periode sains dan penemuan-penemuan. Hal
ini seringkali menimbulkan konfrontasi dengan ajaran Gereja. Misalnya ketika
Galileo melalui tulisannya mendukung hipotesa Copernicus bahwa bumi berputar
mengelilingi matahari dan bukan sebaliknya seperti yang dinyatakan gereja[3]. Begitu pun penemuan benua keempat di bumi,
yaitu Australia, menimbulkan friksi dengan ajaran Gereja yang menyebutkan hanya
ada tiga benua. Gereja dan Kerajaan terus berusaha memberangus
pengetahuan-pengetahuan yang berlawanan dengan Gereja demi mempertahankan
pengaruhnya di masyarakat. Di lain
pihak, masyarakat mulai berpaling dari dogma negara, khususnya gereja. Ini adalah periode Renaissance, saat dimana
Eropa mulai membuka cakrawalanya.
Penemuan-penemuan sains menimbulkan Revolusi Industri, dan perimbangan
kekuasaan di ajang politik internasional bergeser ke Eropa. Revolusi Industri membuat Eropa menguasai
industri berat, yang menghasilkan alat-alat perang pemicu dimulainya periode
penaklukan dan kolonisasi.
Para cendekiawan juga mulai melakukan perlawanan
terhadap Gereja. Niccolo Machiavelli menelurkan gagasan yang membuat
negara-negara Eropa berpaling dari konsep negara Kristen ke konsep negara
bangsa (nation state)[4]. Akibat penindasan yang dilakukan penguasa,
seruan kebebasan semakin kuat, agama mulai dianggap sebagai takhayul dan
kemunduran. Para pemikir dan politisi
terkemuka seperti John Locke, Thomas Hubb, Montesquieu dan Rousseau menyerukan
agar individu diberikan kebebasan dan tidak dikekang. Jean Jacques Rousseau menyatakan “Man was born free and he is everywhere in
chains”[5]. Ungkapan ini berarti bahwa manusia memiliki
kehendak untuk menentukan nasibnya sendiri dan tidak ditentukan oleh Tuhan,
sehingga manusia bebas dan pada hakikatnya manusia itu baik. Negaralah yang telah memperbudak manusia,
sehingga manusia terkekang dan negara eksis tanpa persetujuan manusia. Di sini mulai terlihat bahwa Eropa berpaling
dari sistem feodal dan beralih menuju sebuah masyarakat yang lebih bebas dimana
setiap warga negara dapat menentukan nasibnya sendiri. Rousseau-lah yang memberi inspirasi lahirnya
Revolusi Perancis yang menyeret runtuhnya kekuatan opresif Kerajaan dan
Gereja. Sistem parlemen disusun, Kerajaan
hanya dijadikan simbol, dan Gereja kehilangan kekuasaannya. Sebuah masyarakat sekular pun terbentuk. Proses yang sama terjadi di belahan Eropa
lain dan kerajaan-kerajaan hanya dijadikan simbol serta peran Gereja dibatasi
hanya mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan ibadah ritual. Tongkat kekuasaan berpindah ke tangan Parlemen
yang sangat disokong oleh perusahaan-perusahaan besar. Gereja kemudian hampir tidak memiliki
hubungan dengan negara dan perannya hanya terkonsentrasi pada masalah ibadah
dan moral individu.
Sejak itu agama memiliki makna baru dengan adanya
eliminasi pengaruh agama terhadap negara dan masyarakat pada umumnya. Rakyat mulai mengadopsi nilai-nilai dan
mendapat inspirasi dari para cendekiawan, politisi, pemikir, dan penulis. Namun
demikian memang wajar jika rakyat menjauh dari Gereja disebabkan oleh kolaborasi
Gereja dengan Kerajaan dalam menjunjung sistem feodal di Eropa. Menjauhnya rakyat dari Gereja dan sistem
Feodal itu lebih jauh lagi didorong oleh dua faktor lain.
Pertama, seperti yang telah disebutkan sebelumnya
bahwa penemuan-penemuan ilmiah mendorong timbulnya konflik langsung dengan
ajaran-ajaran Gereja, hal ini menimbulkan keraguan terhadap otentisitas
Injil. Hasilnya, rakyat kehilangan
kepercayaan terhadap Gereja. Kedua,
suatu bentuk baru pemerintahan sekular, bersama dengan penemuan-penemuan ilmiah
dan Revolusi Industri, melahirkan Eropa yang lebih kuat dan kaya. Konsekuensinya hal ini memulai periode
kolonialisme yang kejam yaitu Eropa semakin kaya dan kuat dari hasil menjarah
kekayaan dan kekuatan bangsa-bangsa lain.
Masyarakat sekular pun semakin berdiri kokoh.
Semua itu menunjukkan bahwa rakyat Eropa secara
umum mengambil sikap bermusuhan terhadap Kristen dan agama. Gereja tidak saja dianggap mempertahankan
sistem feodal yang opresif tapi juga menghambat kemajuan Eropa dengan
dogma-dogma agamanya, yang terbukti bahwa dogma-dogma itu hanya berdasarkan
rekayasa dan takhayul.
Inilah yang membentuk pikiran orang-orang Eropa
modern. Pertanyaan yang kemudian muncul
adalah, apakah masuk akal jika kita menilai semua agama hanya berdasarkan
pengalaman ajaran Kristen? Sayangnya,
inilah yang memang Barat inginkan.
Tidakkah mereka seharusnya mencari alternatif yang lebih baik daripada
sekadar mengacuhkan Kristen dan mengambil solusi kompromis? Kompromi, karena eksistensi Sang Pencipta
tidak ditolak; mereka hanya mengenyampingkan institusi agama dari urusan
kehidupan. Gereja, mewakili agama,
diberi peran terbatas di masyarakat dan pemerintahan diberi peran yang terpisah
dari Gereja. Urusan politik terpisah dari urusan Gereja, dan politik menjadi
terpisah dari agama.
Apa Itu Agama?
Mendiskusikan definisi yang paling tepat tentang
agama bukanlah masalah mendasar, tapi yang penting ialah memahami bagaimana
masyarakat memahami agama. Seperti yang
telah disebutkan, perkembangan masyarakat sekular di Eropa berujung pada
hilangnya kekuasaan dan pengaruh otoritas agama. Hal ini juga memungkinkan
Eropa mendapat kekuasaan atas dunia melalui kolonialisme, yang pada gilirannya
menambah kekayaan dan kesejahteraan di atas penderitaan bangsa-bangsa lain. Menyebut kata “agama” kepada orang sekular
modern akan menimbulkan beberapa gagasan berikut.
a. Agama adalah murni masalah pribadi antara manusia
dengan Sang Pencipta. Ini berarti bahwa
agama tidak memiliki peran di masyarakat, dan harus dipisahkan dari urusan
politik. Gagasan ini timbul dari
marjinalisasi Gereja secara bertahap.
b. Agama sangat berdasarkan takhayul, dugaan dan
ketakutan, karena manusia tidak mampu menjelaskan kejadian-kejadian alam dan
keberadaannya di alam semesta. Hanya
dengan sains dan intelektualitaslah manusia dapat maju.
c.
Agama tidak
memberi ruang bagi perbedaan pendapat dan ini berarti penindasan terhadap
kebebasan berbicara dan berpikir.
Khususnya hal ini timbul dari perilaku Gereja Katolik selama proses
Inquisisi Spanyol pada akhir abad 15 M, pembunuhan masal kaum Protestan dan
segala sesuatu yang bertentangan dengan ajarannya, dan pembantaian-pembantaian
berdarah lainnya[6]. Hanya kehendak para pendetalah yang diikuti
tanpa memperhatikan pendapat rakyat.
Sistem seperti itu tidak melayani rakyat banyak melainkan hanya melayani
kaum elit yang memiliki otoritas.
Itulah gagasan-gagasan yang muncul dalam pikiran
masyarakat sekular Barat dan kaum elit sekular di negeri-negeri muslim.
Pandangan Islam Terhadap Agama dan Masyarakat
Pemahaman di atas sama sekali tidak sesuai dengan
Islam. Setiap nabi yang Allah SWT utus
dari mulai Adam as hingga Muhammad saw, diutus bukan hanya untuk memperbaiki
individu tapi juga memperbaiki masyarakat secara luas. Mereka diutus dengan risalah untuk beriman
kepada satu Pencipta dan membawa hukum dan peraturan untuk mengatur masyarakat
dan individu. Seiring dengan pertumbuhan
masyarakat yang semakin kompleks, Allah SWT memberikan hukum-hukum baru kepada
nabi-nabi berikutnya. Tidak pernah ada
satu nabi pun yang diajarkan bahwa agama hanyalah urusan keyakinan pribadi dan
bahwa perbuatan-perbuatan manusia itu terpisah dari keyakinannya.
Adanya analisa bahwa agama (Kristen) hanya
terdiri dari rekayasa dan takhayul, memang benar karena naskah kitab suci agama
tersebut yang orisinal telah hilang atau dirusak/diubah oleh manusia. Al-Qur’an memberi kesaksian tentang fakta ini
dan lebih dari itu, Al-Qur’an tidak pernah kontradiktif dengan hasil-hasil
penemuan ilmiah. Justru Al-Qur’an
menantang manusia untuk menemukan kontradiksi-kontradiksi di dalamnya, jika
ada.
“Apakah
mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an?
Jika Al-Qur’an memang datang dari selain Allah, tentulah mereka akan
menemui banyak pertentangan di dalamnya”
(TQS. an-Nisaa’ 82).
Tidak ada satu masyarakatpun yang secara absolut
membolehkan kebebasan mengekspresikan perbedaan pandangan. Karena itu, jika ada masyarakat yang
mengklaim bahwa mereka membolehkan kebebasan berbicara, maka hal itu adalah
suatu kebohongan nyata dan hipokrit, karena agar masyarakat dapat menjalankan
fungsinya tentu harus memiliki batasan-batasan dan larangan, sebab jika tidak
maka akan menimbulkan kekacauan (chaos). Orang-orang di masyarakat tidaklah homogen
dan beda orang akan memiliki kemampuan berbeda, kecenderungan terhadap
masyarakat yang bebas akan menimbulkan penindasan oleh yang kuat terhadap yang
lemah. Untuk mencegahnya, masyarakat
membutuhkan peraturan. Jadi, gagasan
suatu masyarakat yang bebas adalah mitos belaka dan tidak pernah ada
realitasnya dan tidak akan pernah ada sampai kapan pun. Gagasan masyarakat yang bebas akan
bertentangan dengan sifat kemanusiaan, karena suatu masyarakat yang bebas akan
seperti kehidupan hutan, yang kuat menindas yang lemah, tanpa adanya rasa belas
kasih, sehingga lebih sesuai bagi binatang dan tidak sesuai bagi manusia. Masyarakat-masyarakat demokratis di Barat,
meskipun mengklaim memiliki kebebasan berbicara atau jenis-jenis kebebasan
lainnya, tidaklah berbeda dengan tipe-tipe masyarakat lainnya, baik itu masyarakat
yang diktator/otoriter, monarki ataupun teokrasi, karena semua tipe masyarakat
itu memiliki peraturan, dan kebebasan itu ada selama orang memperhatikan aturan
yang ditetapkan. Jadi, bisa dikatakan
bahwa era setelah Abad Pertengahan memang memberikan ruang yang lebih besar
bagi kebebasan berbeda pendapat, tapi itu tidaklah mutlak dan memang tidak akan
pernah mutlak. Yang benar adalah bahwa
setiap masyarakat membolehkan perbedaan pendapat itu ada selama
pendapat-pendapat itu tidak mengancam tatanan struktur kekuasaan yang ada. Sehingga alasan bagi perbedaan pendapat yang
lebih besar dalam masalah nilai-nilai agama setelah periode Renaissance adalah
karena struktur kekuasaan yang ada ketika itu tidak didasarkan pada agama. Seperti halnya dalam aturan Islam, terdapat
kebebasan berpendapat dalam batas-batas syari’at, seperti terlihat pada
perkembangan sejarah Mahzab-mahzab fiqh, Ushl Fiqh, sains, sejarah, dan
lain-lain. Perdebatan dan diskusi hebat pernah terjadi di Baghdad, Kufa,
Madinah, Grenada, Qirawain, Fez dan Samarqand.
Pengertian Politik
Setelah kita mendapat suatu pemahaman tentang
makna agama dan masyarakat, mari kita analisa makna politik. Politik secara umum dipahami hanya sekadar
perjuangan mendapat kekuasaan dan pemerintahan, karena itu politik
diasosiasikan dengan mengatur atau memerintah suatu bangsa. Lantas definisi partai politik adalah partai
yang berjuang mendapat kekuasaan, sehingga perebutan kekuasaan menjadi trademark dari permainan politik. Sebagian besar politisi modern sepertinya
terinspirasi oleh Machiavelli, yang menyatakan bahwa seorang politisi harus
licik dan berjuang untuk kekuasaan.
Fakta peta politik saat ini sangat sesuai dengan pernyataan
tersebut. Ini pandangan yang dangkal dan
keliru.
Esensi politik sebenarnya berkaitan dengan urusan
masyarakat dan bagaimana pengaturannya, baik masyarakat kuno seperti Babilonia,
Asiria, Funisia, hingga masyarakat modern di milenium tiga ini. Fungsi pemerintah manapun adalah memelihara
urusan-urusan masyarakat tersebut. Bukan
untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan, walaupun hal ini tampaknya telah
menjadi motif utama dari para politisi masa kini. Dalam bahasa Arab, kata politik sepadan
dengan siyasah, berasal dari kata sasa, yasuusu, siyasatan yang berarti
mengurus kepentingan seseorang. Berdasarkan kajian bahasa dan analisa terhadap
hadits-hadits tentang pengurusan masyarakat diambil suatu definisi syar’iy dari
politik (siyasah), yaitu mengatur urusan umat, baik di dalam maupun di luar
negeri.
Gagasan pemisahan agama dari politik adalah ide
yang dangkal. Pemisahan itu hanyalah
produk dari kekelaman sejarah Eropa, bukan hasil pemikiran intelek. Islam telah memberikan panduan pengaturan
masyarakat. Seluruh Nabi yang diutus
oleh Allah SWT menjadi pemimpin dalam melakukan perubahan masyarakat. Nabi Muhammad saw mendirikan suatu negara di
Madinah setelah hijrah. Di sana beliau
saw mengatur urusan masyarakat, membuat perjanjian-perjanjian, menerapkan
syari’at Islam, menyatakan keadaan perang dan damai, serta mengirim/menerima
utusan ke/dari negara-negara lain.
Sering kita dengar ungkapan “Agama adalah urusan
pribadi, jangan dibawa-bawa ke dalam dunia politik”. Ungkapan ini lahir dari dogma sekular, yaitu
bahwa agama adalah urusan pribadi saja.
Inilah definisi yang digunakan oleh para politisi, cendekiawan, penulis
dan media massa sekular untuk menguasai opini publik di masyarakat. Pemahaman ini dianggap sakral bagi pemikiran
yang “progresif” dan tidak dapat digugat.
Definisi di atas jelas keliru karena sifat alami
agama adalah untuk memperbaiki dan mengatur masyarakat secara keseluruhan. Untuk memperbaiki masyarakat dibutuhkan
otoritas politik, sehingga politik selalu integral dalam agama. Ibaratnya, politik adalah anak dari suatu
keluarga dan keluarga itu adalah agama.
Tuntutan bahwa agama harus tetap terpisah dari politik
agar tidak ada orang yang dapat memaksakan keyakinannya kepada orang lain
adalah hal yang juga keliru. Pandangan
yang menyatakan bahwa agama harus dipisahkan dari politik itu sendiri adalah
suatu sudut pandang khas, suatu “agama”, yang dipaksakan kepada orang
lain. Perbedaannya hanya terletak pada
fakta bahwa “agama baru” ini tidak mengandung unsur keyakinan pada Pencipta dan
digunakan istilah yang berbeda, yaitu sekularisme. Seperti halnya mengatakan bahwa tidak boleh
ada hukum di masyarakat; padahal ungkapan itu sendiri membentuk suatu hukum.
Argumen lain yang diutarakan oleh masyarakat
sekular adalah bahwa hukum-hukum agama sudah ketinggalan zaman dan tidak dapat
diterapkan dalam masyarakat modern yang progresif. Ini digunakan untuk menjustifikasi pemisahan
agama dari politik. Asumsi dasar dari
pernyataan ini adalah bahwa sesuatu yang lama menjadi ketinggalan zaman dan
sesuatu yang baru itu adalah progresif dan harus diterima tanpa keraguan. Kriteria yang digunakan adalah waktu. Tetapi ini bukan argumen yang intelek. Kalau kita amati, udara yang kita hirup sama
tuanya dengan usia planet yang kita diami, dan udara berfungsi vital bagi
kelangsungan hidup kita; pun penyakit-penyakit baru seperti AIDS sukar diterima
oleh masyarakat. Jadi, hanya karena
sesuatu itu sudah tua tidaklah berarti usang atau kuno; sesuatu yang baru tidak
berarti baik dan dapat diterima. Begitu
pula hukum-hukum tidak menjadi usang atau kuno hanya karena hukum-hukum itu
adalah “produk lama”, karena pada esensinya manusia adalah sama. Sama-sama makhluk yang lemah, lengkap dengan
segala keterbatasannya. Kondisi ini
membuat manusia selalu membutuhkan sesuatu yang lebih tinggi dari dirinya. Manusia membutuhkan aturan sebagai panduan
dalam menjalani hidupnya. Dan buku panduan
yang baik dan benar hanya datang dari Pencipta manusia dan alam semesta tempat
manusia itu hidup.
Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT
kepada Nabi Muhammad saw untuk mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan
hubungan manusia dengan Pencipta, dengan dirinya sendiri, serta dengan sesama
manusia lainnya. Al-Qur’an adalah Kalamullah yang menjelaskan segala sesuatu
yang
Dalam al-Qur’an terdapat aturan-aturan
diantaranya mengenai pernikahan, perceraian, waris, jihad, zakat, dll. yang
tidak akan pernah bisa diimplementasikan dalam masyarakat tanpa adanya otoritas
politik. Bagaimana hukum potong tangan
bagi pencuri, rajam bagi pezina, deklarasi jihad, mengumpulkan zakat dan kharaj
bisa berjalan tanpa adanya otoritas politik?
Rasulullah saw sendiri melaksanakan hukum-hukum di atas 1400 tahun yang
lalu, menunjukkan bahwa politik adalah bagian dari Islam. Diantara ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan
dengan politik adalah firman-firman Allah SWT yang artinya:
“Siapa
saja yang tidak berhukum menurut apa yang telah Allah turunkan, maka mereka itu
termasuk orang-orang kafir” (TQS.
al-Maaidah 44).
“Siapa
saja yang tidak berhukum menurut apa yang telah Allah turunkan, maka mereka itu
termasuk orang-orang zhalim”
(TQS. al-Maaidah 45).
“Siapa
saja yang tidak berhukum menurut apa yang telah Allah turunkan, maka mereka itu
termasuk orang-orang fasiq” (TQS.
al-Maaidah 47).
“Maka
demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidaklah beriman hingga mereka
menjadikanmu (Muhammad) sebagai hakim atas perkara yang mereka perselisihkan” (TQS. an-Nisaa 65).
“Hai
orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah, dan ta’atilah Rasul (-Nya), dan ulil
amri diantaramu. Kemudian jika kalian
berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an)
dan Rasul-Nya (as-sunnah)” (TQS.
an-Nisaa 59).
Mayoritas ulama Hanafi, Syafi’iy, Hambali sepakat
bahwa ayat di atas, “ta’atilah ulil amri”
merujuk kepada Khalifah. Setelah
wafatnya Rasulullah saw, para shahabat berkumpul dan memilih salah seorang dari
mereka untuk menjadi Khalifah, sebelum menguburkan jenazah Nabi Muhammad
saw. Mereka adalah para shahabat
terdekat Nabi saw dan mereka bersepakat tentang wajibnya memilih seorang
Khalifah. Oleh karena itu, sejak
permulaan Islam, otoritas politik telah dikenal dan diimplementasikan.
Juga banyak hadis-hadis yang berkaitan dengan
Khilafah.
Imam Muslim meriwayatkan dari Nafi’ yang berkata
yang artinya: Abdullah ibn Umar berkata
kepadaku: “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: ‘Siapa saja yang melepaskan
tangan dari keta’atan, ia akan bertemu dengan Allah di hari kiamat tanpa
memiliki hujjah, dan siapa saja yang mati sedangkan di atas pundaknya tidak ada
bai’at, maka ia mati dalam keadaan mati jahiliyyah.”
Dari Abu Hurayrah dari Nabi saw bersabda:“Dahulu, Bani Israil selalu dipimpin dan
dipelihara urusannya oleh para nabi.
Setiap kali seorang nabi meninggal, digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku. (tetapi) Nanti akan ada banyak Khalifah. Para sahabat bertanya: Apakah yang engkau
perintahkan kepada kami? Beliau saw
menjawab: Penuhilah bai’at yang pertama dan yang pertama saja. Berikanlah kepada mereka haknya, karena Allah
nanti akan menuntut pertanggungjawaban mereka tentang rakyat yang dibebankan
urusannya kepada mereka” (THR. Muslim dari Abu Hazm).
Dari Ibnu Abbas dari Rasulullah saw bersabda: “Siapa saja yang membenci sesuatu dari
pemimpinnya, hendaklah ia tetap bersabar.
Sebab, siapa saja yang keluar (memberontak) dari penguasa sejengkal saja
kemudian mati dalam keadaan demikian, maka matinya adalah seperti mati
jahiliyah.”
Seharusnya keterangan ini cukup bagi masyarakat
sekular Barat dan orang-orang terpelajar di antara kaum muslimin untuk
menyadari bahwa politik dan Islam tidak akan pernah dapat dipisahkan; karena politik adalah bagian integral dari
Islam. Tetapi orang-orang kafir selalu
berusaha untuk memadamkan cahaya Allah SWT. Dengan segala kebencian yang tampak
di wajah dan dadanya, mereka berupaya sekuat tenaga untuk mempromosikan,
menjual, bahkan menggratiskan dagangan mereka, yaitu sekularisme, ke
tengah-tengah kaum muslimin.
Upaya Barat Mempromosikan Sekularisme
Barat tidak pernah melewatkan setiap peluang
untuk mendarahdagingkan sekularisme kepada setiap muslim. Dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang melebihi negara-negara lain, Barat memiliki senjata ampuh berupa
kekuatan ekonomi dan militer.
Ketergantungan secara ekonomi (khususnya) negara-negara dunia ketiga
kepada Barat, membuat Barat selalu berada pada posisi tawar (bargaining position) yang kuat. Akibatnya, Barat berkesempatan memaksakan
setiap keinginannya. Bila jalur ekonomi
terhambat, giliran militer yang turun tangan.
Upaya-upaya Barat dalam mempropagandakan sekularisme diantaranya secara
garis besar adalah sebagai berikut.
1.
Menciptakan
kondisi-kondisi yang membuat sebanyak mungkin negara memiliki ketergantungan
yang akut kepada Barat. Asumsi dasarnya
sederhana saja, yaitu jika Anda ingin saya meluluskan setiap permintaan yang
Anda butuhkan, maka Anda terlebih dulu harus mendekati saya dan menuruti setiap
apa kata saya.
2.
Ketika kondisi
nomor 1 tercapai, maka Barat memiliki kekuatan memaksa. Yaitu memaksa setiap negara yang tergantung padanya untuk berperan aktif
mengkampanyekan “nilai-nilai luhur” yang dianut Barat. Para politisi oportunis adalah punggawa Barat
di pemerintahan negeri-negeri Islam.
Para cendekiawan sekularis adalah corong Barat di dunia akademik dan
wacana publik. (Beberapa) Ulama menjadi juru kampanye sekularisasi dunia santri
dan pesantren.
3.
Berikutnya,
setiap sudut kehidupan kaum muslimin dipenuhi dengan promosi sekularisme. Media massa cetak maupun elektronik dalam
berbagai bentuknya tidak pernah bosan mendukung upaya sekularisasi; sistem dan
kurikulum pendidikan setiap tahunnya melahirkan mayoritas lulusan yang
seolah-olah baru pulang cuci otak di pusat negara sekular.
4.
Ada juga
gerakan-gerakan Islam yang dibentuk atau didanai oleh pemerintah-pemerintah di
dunia Islam (yang dikontrol oleh Barat), mempromosikan ide sekularisme dalam
Islam. Kelompok-kelompok ini cenderung
membatasi aktivitas gerakannya pada aspek individu, seperti shalat, puasa, naik
haji dan akhlaq. Mereka diam terhadap
ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap umat Islam. Mereka mendorong umat Islam untuk tetap
secara pasif bersabar dan menolerir rezim yang brutal dan barbar yang ada di
dunia Islam. Mereka menjauhi politik
dengan menyatakan bahwa politik adalah sarang fitnah dan tidak boleh
didiskusikan. Mereka menganggap seruan
ditegakkannya kembali sistem Khilafah adalah utopia, hanya angan-angan. Kelompok-kelompok
ini ditawari berbagai posisi dalam pemerintahan, dan mereka menyusun program
“Islamisasi” di dalam negeri dan menamai negerinya sebagai suatu negara Islam
(yang semu), untuk menjauhkan umat dari gagasan Negara Islam yang sejati. Negara-negara Islam semu itu sama sekali
tidak dapat disamakan dengan Khilafah Islamiyah dari segi apapun; tidak ada
Khalifah melainkan Presiden atau Perdana Menteri atau Pemimpin Spiritual. Mereka menerapkan beberapa bagian dari
syari’at Islam dan mereka menerima konsep batas-batas nasionalistik yang
dibentuk oleh para kolonialis, padahal kesemuanya itu bertentangan dengan
Islam.
5.
Kenyataan ini
diperparah oleh fakta bahwa rakyat kecil sebagai bagian terbesar dari umat yang
sedang mengalami kemunduran ini berideologi plagiasi. Menggugu dan meniru apa kata orang yang
secara keilmuan dianggap lebih tinggi.
Politisi oportunis dijadikan pemimpin idaman. Cendekiawan sekularis dijadikan rujukan. Ulama-ulama yang sudah terbeli keislamannya
dijadikan teladan.
6.
Cara lain ialah
dengan memberikan dukungan dana kepada pusat-pusat keislaman (Islamic Centre)
di negara-negara Eropa dan Amerika. Negeri-negeri seperti Arab Saudi, Kuwait,
dan Mesir menyediakan dana dan pemimpin spiritual yang karismatik, lengkap
dengan fasilitas penunjangnya. Tujuannya
adalah agar kaum muslimin merasa tercukupi kebutuhannya. Merasa terakomodasi eksistensi dan
aspirasinya, sehingga melalaikan kaum muslimin dari perkara yang nyata-nyata
mendesak, yaitu tegaknya syariat Islam dalam format Khilafah Islamiyah.
Penutup
Contoh paling nyata dari integralnya politik dan
agama dapat dilihat dari fungsi Negara Islam dalam waktu yang begitu lama,
sejak pendiriannya tahun 622 M oleh Rasulullah saw di Madinah hingga
peruntuhannya tahun 1924 M oleh Mustafa Kamal yang didukung kolonialis. Sistem Islamlah yang telah menjamin kedamaian
dan ketentraman, baik bagi kaum muslim maupun non-muslim; ketika itu
urusan-urusan masyarakat diatur menurut hukum Allah SWT Sang Pencipta, bukan
oleh hukum-hukum buatan pikiran manusia dengan segala biasnya, kontradiksinya,
dan kepentingannya.
Sumber : directory.ummac.id
Tiada ulasan:
Catat Ulasan